Anies, Ruang Ketiga, dan Toleransi Beragama

Anies, Ruang Ketiga, dan Toleransi Beragama

Oleh : Bayu Wira Pratama

“Peace is never about the absence of conflict, but peace is about the presence of justice”

-ARB

Minggu, 16 Oktober 2022 menjadi hari terakhir warga Jakarta dipimpin oleh seorang gubernur yang visioner dan memiliki komitmen kuat terhadap demokrasi yang sesungguhnya di Republik Indonesia. Kini, komitmen-komitmen tersebut ditawarkan dan ingin dikerjakan dalam skala yang lebih luas, melalui pencalonan dirinya sebagai calon presiden periode 2024-2029. Dalam berbagai kesempatan, Anies Rasyid Baswedan – nama lengkapnya, mengajak masyarakat untuk melihat kinerja dan pencapaian dirinya selama bertugas lima tahun di Jakarta. Beberapa program penting di Jakarta hendak dilanjutkan dalam skala nasional, di antaranya adalah sistem transportasi publik terintegrasi dan pembangunan stadion berkelas internasional. Namun, terdapat salah satu janji kampanye mencolok dari Anies yang berpasangan dengan calon wakil presiden Abdul Muhaimin Iskandar yaitu meng-upgrade 40 kota di seluruh Indonesia yang setara dengan Jakarta. Berpegang pada prinsip kesetaraan dan keadilan, pasangan AMIN memilih langkah peninjauan ulang terhadap pembangunan IKN di Kalimantan Timur, dan alokasi anggarannya dialihkan untuk 40 kota besar di Indonesia. Jika hal tersebut dapat direalisasikan, maka ruang-ruang ketiga dan penguatan nilai-nilai toleransi beragama akan semakin efektif. Mengapa demikian?

Dalam mewujudkan Kebhinekaan yang di dalamnya terkandung nilai-nilai toleransi beragama, Anies ingin mempersatukan rakyat Indonesia melalui bentuk-bentuk riil, salah satunya dengan penyediaan ruang ketiga. Ruang ketiga adalah tempat-tempat pertemuan masyarakat tanpa memandang golongan dan strata sosial atau ekonomi. Ruang ketiga merupakan keberlanjutan yang harmoni dari rumah sebagai ruang pertama dan tempat kerja sebagai ruang kedua. Dengan adanya ruang ketiga, seorang cendekiawan dapat dengan leluasa berdiskusi dengan masyarakat awam untuk memberikan ilmu dan pendidikan. Dengan ruang ketiga, seorang taipan memiliki kedudukan yang sama dengan seorang pemilik UMKM. Dengan ruang ketiga, nilai-nilai toleransi beragama dapat diterapkan dan disebarkan melalui pengalaman yang riil dan berkesan. Ruang ketiga yang dimaksud, di antaranya meliputi keberadaan trotoar yang aman dan nyaman sesuai dengan konsep complete street, keberadaan taman-taman kota sebagai park (tempat bermain, berkumpul, dan beraktivitas) alih-alih sebagai garden (hanya diproyeksikan untuk melihat-lihat tetumbuhan saja), dan integrasi keduanya dengan kultur berjalan kaki dan masifnya transportasi publik.

Ruang ketiga yang masif mendorong ruang-ruang terbuka bagi masyarakat untuk berdiskusi mengenai beragam hal, juga menjadi suatu jalan bagi pemangku kebijakan untuk mempromosikan nilai-nilai toleransi beragama. Ruang ketiga membuka akses untuk seluruh lapisan masyarakat saling berjumpa dan mengenal sesama, sehingga timbul rasa hormat terhadap perbedaan, terutama perbedaan keyakinan. Dimana lagi kiranya pertemuan paling mudah antar umat beragama jika bukan di ruang-ruang publik? Sedangkan praktik keagamaan tidak bisa begitu saja diakses melalui tempat-tempat ibadah, apalagi melalui rumah ke rumah (door-to-door)?

Hal ini semakin kuat pengaruhnya jika para pemangku kebijakan bersikap adil dan setara terhadap segala bentuk keperluan dan urusan seluruh umat beragama. Upaya yang dilakukan Anies untuk menjadikan Jakarta sebagai kota kolaborasi yang tenang, teduh, dan kondusif yaitu menggandeng para pemimpin keagamaan maupun sosial. Menyandang status sebagai ibukota, apa pun yang terjadi di Jakarta, cepat atau lambat akan berpengaruh terhadap wilayah-wilayah di sekitarnya. Terlebih lagi dengan hilangnya sekat-sekat yang membatasi akses berupa letak geografis dengan hadirnya internet, sehingga rakyat Indonesia mengikuti secara aktif apa yang terjadi di Jakarta. Oleh karena itu, sebagai role model utama, Jakarta dalam kepemimpinan Anies menggandeng seluruh pemimpin keagamaan dan sosial dan memfasilitasi seluruh kegiatan keagamaan, tidak hanya Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia. Pemerintah menyediakan lahan untuk pembangunan kuil Hindu Tamil pertama di Jakarta, mendukung penyambutan hari natal (Christmas Carol), memberikan izin pendirian Gereja Katholik Damai Kristus, dan lain sebagainya. Pemerintah juga memberikan hibah Bantuan Operasional Tempat Ibadah (BOTI) untuk seluruh tempat ibadah secara adil berasaskan proporsionalitas dengan total anggaran sebesar 439 miliar rupiah dalam kurun waktu 2019-2022. Para pengurus tempat ibadah tersebut juga mendapat insentif dari pemerintah sebesar 500 ribu rupiah kepada lebih dari 37 ribu orang. Data-data lain yang tidak diangkat tentunya semakin menguatkan peran aktif pemerintah dalam upaya menginternalisasikan nilai-nilai toleransi beragama. Tak heran, Jakarta memperoleh penghargaan “Harmony Award 2020” dari Kementerian Agama atas Pengembangan Pendidikan Agama dan Kerukunan Antar Umat Beragama.

Sebagai seorang calon presiden Republik Indonesia, sebagian orang mempertanyakan kapabilitas dan komitmen Anies untuk Indonesia yang sangat heterogen. Mereka berkaca pada penerimaan dan dukungan Anies terhadap sebagian golongan Islam yang dianggap ekstrimis, sehingga langsung mengambil kesimpulan bahwa Anies identik dengan politik identitas dan intoleransi. Namun, sebagaimana yang sering disampaikan oleh Anies sendiri dalam berbagai kesempatan, bahwa “pernyataan-pernyataan” yang terlontar hendaknya dijawab secara efektif bukan dengan “pernyataan-pernyataan” juga, melainkan dengan”kenyataan-kenyataan.” Jakarta sebagai bukti terkuat kepemimpinan Anies patut untuk dicermati oleh masyarakat Indonesia, sehingga ketika semakin intens penelusurannya, yang ditemukan hanyalah teguhnya komitmen Anies terhadap kesetaraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam kontestasi Pemilu 2024 ini, rakyat ditawarkan kepemimpinan Indonesia ala Jakarta di bawah kepemimpinan Anies. Tentunya, tidak semua orang mengamini dan menyukai apa yang ditawarkan. Tetapi, satu hal yang pasti, kenyataan bahwa Jakarta dan toleransi beragama begitu harmonis di bawah kepemimpinan Anies.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *